Minggu, Juni 30, 2024
BerandaDenpasarMohon Kesejahteraan untuk Kemakmuran, Buda Wage Klawu: Ritual Baas Lan Pipis

Mohon Kesejahteraan untuk Kemakmuran, Buda Wage Klawu: Ritual Baas Lan Pipis

DENPASAR, balipuspanews.com
Enam bulan sekali (210 hari) kita selalu dihadapkan dengan hari suci Buda Wage Klawu atau Buda Cemeng Klawu. Hari ini Rabu, (26/6/2024) merupakan Wuku Klawu yang diyakini dalam susastra Hindu sebagai hari pemujaan Sang Hyang Sri Sadhana. Dalam susastra Veda beliau didekatkan dengan nama salah satu manifestasi dari Dewi Laksmi.

Akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag., M.Pd. H, menuturkan, sesungguhnya hari Buda Wage Klawu sebagai salah satu hari suci untuk memuliakan segala hasil alam untuk menunjang kehidupan umat manusia. Disadari atau tidak bahwa manusia dihidupi oleh hasil alam yang salah satunya adalah beras.

Demikian pula kehidupan berjalan dengan salah satu alat tukar yaitu uang. Perputaran beras dan uang sesungguhnya adalah cikal bakal dari kehidupan manusia, hal inilah yang melatari bahwa penting sekali kita memuliakan beliau dengan merayakan hari suci dimana beliau sedang beryoga yaitu pada hari Buda Wage lawu.

Pernahkan kita mendengar nasehat tetua kita? Bahwa apabila persoalan hidup seseorang tiada hentinya mengganggu dan merasa tersakiti, maka kita diarahkan untuk bertanya pada beras dan uang (nakenang di baas pipise). Ini artinya kita sedang ditugaskan meletakan seluruh keyakinan kita kepada keberadaan baas dan pipis, atau uang dan beras.

Disanalah diharapkan mampu memperoleh solusi atas kehidupan dan beratnya apa yang dialami. Kalau dilihat secara harfiah, maka pemujaan pada buda wage klawu sesungguhnya adalah pemujaan kepada Sang Hyang Sri Sedhana. Kata Sri (identik dengan padi atau beras) sedangkan kata sedhana (kita identikan dengan uang).

BACA :  Kunjungi Buleleng, Tim Kemenko PMK Singgung Soal Stunting dan Pernikahan Dini

Pada titik ini umat diberikan nasehat oleh tetua bahwa dalam keberadaan benda sebagai hasil alam berupa beras dan uang mampu berkomunikasi kepada-Nya untuk memohon solusi atas kehidupan.

Jadi betapa besarnya pengaruh uang dan beras dalam tradisi dan budaya keberagamaan di Bali, maka adalah wajar memaknainya dengan bukan saja melakukan ritual dengan bebantenan, tetapi juga dengan aksi nyata memelihara dan memuliakan beras dan uang sebagai benda yang memiliki nilai sekala dan niskala yang amat penting.

Dalam makna selanjutnya, uang dan beras adalah simbol atau nyasa yang memberikan penjelasan tentang kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan beras dan uang kita mampu mencapai kesejahteraan jasmani untuk kemudian melangkah menuju rohani sehingga mampu disebut makmur, yaitu suatu keadaan dimana umat mampu melampaui segala derita hidup di dunia dan berupaya untuk mencapai kebebasan atau kesempurnaan niskala.

“Pada titik dimana uang dan beras sebagai alat kesejahteraan dan kemakmuran, maka bukan saja kita syukuri dengan kata-kata, namun dengan perilaku nyata dimana pemuliaan dengan memelihara hasil bumi berupa beras dan uang, adalah kewajiban laku agama kita untuk saat ini,” tuturnya.

BACA :  Danamon Indonesia Rilis Episode Miniseries Danamon Financial Friday 2024

Walaupun sampai pada detik ini, lanjut Satria, beras dan uang adalah simbul kekuatan manusia untuk mencapai terpandang dalam kehidupannya. Tuan beras dalam kehidupan sehari-hari sama dengan tuan uang yang mana orang tersebut bisa terpandang dalam strata sosialnya. Siapakah yang memiliki beras, adalah dia yang senantiasa memelihara sawahnya untuk menjaga keberlangsungan hidupnya.

Ujung-ujung dari fungsi beras ini adalah untuk menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan kehidupan lainnya. Jadi pada posisi kita yang masih bergantung pada beras dan uang sebagai bagian terpenting dalam keberlangsungan hidup kita, maka selama itu kita mutlak diharuskan untuk melakukan rasa syukur dengan merayakan hari suci buda wage klawu, memuja Sang Hyang Sri Sedhana.

Ungkapan Syukur ini juga diyakini memuja Sang Hyang Rambut Sedhana dan Sri Sedhana. Sebagai simbul purusha dan pradhana, pertemuan atau penyatuan akasa dan pertiwi untuk mencapai kesuburan dan hidup akan baik untuk menuju ketentraman.

Lebih jauh disampaikan, dalam lontar Sundari gama dinyatakan “Bude wage, ngaraning Bude cemeng, kalingania adnyane sukseme pegating indria, betari manik galih sire mayoge, nurunaken Sang Hyang Ongkare mertha ring sanggar, muang ring luwuring aturu, astawe kene ring seri nini kunang duluring diane semadi ring latri kale”.

BACA :  Kembangkan Climate Risk Management Perbankan Indonesia, OJK Perkuat Kemitraan Bersama Kedutaan Australia dan Prospera

Arti secara umumnya adalah buda wage adalah buda cemeng, hari dimana pikiran kita diupayakan memutuskan indria, yoga dari Bhatari Manik galih (dewa beras). Pada saat itu beliau menurunkan Sang Hyang Ongara Mertha di tempat suci (merajan), juga diatas tempat tidur, pada saat ini memuja Dewi Seri atau dewi nini, dan dilakukan dengan yoga semadhi di malam hari.

Jika melihat pesan Lontar ini maka persembahan pada saat buda wage kelawu bisa kita sarikan dengan mempersembahkan banten sebagai berikut. Pejati, sesayut bagia setata sari yang isinya kulit sayut, benang tebus, uang bolong 1 kepeng, peras, tulung, sayut, raka jangkep, nasi penek 1 dialasi don kayu sugih meilehan, sesanganan sarwa galahan, tipat sari 1 kel, tipat bagia 1 kel, penyeneng, nagasari, pesucian, payuk pere tempat tirta berisi bunga harum. Segehan panca warna. Banten ini dipersembahkan di merajan (rong telu) lalu membuat pula banten sekesidan di atas tempat tidur.

Secara umum, masyarakat diharapkan ikut menghormati payogan Ida Bharata Rambut Sedhana dengan mebrata tidak menyalahgunakan uang dan beras saat itu.

“Tindakan penting lainnya adalah dengan selalu menjaga dan memelihara beras dan uang sebagai benda yang memiliki nilai magis religius, untuk keseimbangan kehidupan vertikal dan horizontal kita,” pungkas pria asal Bumi Panji memungkasi.

Penulis: Budiarta
Editor: Oka Suryawan

RELATED ARTICLES

ADS

- Advertisment -

Most Popular